Jumat, 06 Agustus 2010

Pembangunan Partisipatif Warga Batang

Oleh: Muhamad Imron

PEMBANGUNAN daerah yang berlangsung terus menerus dalam istilah Cleaver (2000) lebih dipahami sebagai kontri-busi masyarakat un-tuk meningkatkan efektivitas dan efi-siensi. Pembangunan ini dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, kepentingan umum, transparansi, proporsional, profesional, akuntabilitas, dan berkelanjutan.
Secara yuridis-formal, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah disebutkan anggaran ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari aspek hukum, kebijakan pembangunan partispatif telah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain adalah Undang-undang (UU) No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengisyaratkan ada kerangka perencanaan jangka menengah, UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 105 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, juga Surat Edaran Bersama No. 1354/M.PPN/03/2004-50/744/Sj oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemerintah daerah menjaring partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran.
Berpijak dari beberapa peraturan perundang-undangan itu, setiap daerah dituntut mampu mengimplementasikan dengan baik, termasuk Kabupaten Batang. Untuk mempermudah proses perencanaan tersebut, pemerintah mengeluarkan Surat Ke-putusan Bupati No 14/2003 tentang Pe-doman Perencanaan Pembangunan Par-tisipatif. Dalam keputusan tersebut disebutkan tujuan diselenggarakan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas peran serta seluruh pelaku pembangunan, dan menghasilkan perencanaan pembangunan yang partisipatif. Karena itulah, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan daerah (lihat pasal 5).
Adapun mekanisme pelaksanaannya telah diatur dalam pasal 6. Pertama, setiap perangkat daerah wajib menfasilitasi dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif dari tingkat desa/kelurahan (musrenbang), kecamatan (musrenbangcam) dan daerah (musrenbangkab/kota) sesuai de-ngan tugas pokok dan fungsinya.
Kedua, setiap dinas, badan, kantor dan sekretariat daerah wajib menyerap hasil rakorencam untuk menjadi usulan program pembangunan ke dalam rakorenda dengan memperhatikan program pembangunan daerah (propeda) dan rencana strategi daerah (renstrada). Adapun bentuk partisipasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, lisan atau tulisan, perorangan maupun kelompok atau perwakilan.
Untuk perencanaan pembangunan Kabupaten Batang 2009/2010, musrenbang dilaksanakan mulai 27 Januari-14 Februari 2009. dalam hal ini pemerintah melakukan kerjasama dengan konsorsium Demokrasi Rakyat Untuk Perubahan (DERAP) Kabupaten Batang sebagai pemantau pelaksanaan musrenbang di tingkat desa, kecamatan, hingga pengawalan di tingkat kabupaten.

Mendua
Menyitir teori Mark Considine (Public Policy A Critical Approach, 1994), kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan hasil lain dengan nilai-nilai yang diyakini —oleh aktor pembuat kebijakan— adanya seperangkat komunikasi norma-norma etika dan moral, jalinan kepercayaan (trust) dan solidaritas antar aktor.
Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan ’’nilai-nilai’’ yang antinilai, seperti dominasi dan proses nondevelopmental. Dan nilai-nilai yang menjadi basis kebijakan publik dapat bersifat antagonistik.
Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian tidak berada dalam ruang terbuka untuk melakukan proses demokratisasi. Institusionalisasi kedewasaan berargumentasi dalam kebijakan tidak tumbuh, partisipasi masyarakat terabaikan, dan legitimasi publik akan pemerintahan luntur. Dengan demikian, kebijakan dipandang menjadi milik sekelompok orang atau elite yang
mengatasnamakan masyarakat untuk merealisasikan kepentingan ’’publik’’.
Karena itulah, tidak heran jika kemudian masyarakat menjadi apatis. Hal ini nampaknya disebabkan oleh minimnya usulan-usulan masyarakat yang terakomodasi dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Berdasarkan hasil pengamatan FITRA (2005/2006), usulan-usulan masyarakat hampir 50% ditingkat kecamatan hilang, sementara pada tingkat rakorbang hilang sampai 80%. Hal ini mengindikasikan bah-wa pertarungan aspirasi masyarakat pada level yang lebih tinggi dengan mudah dikalahkan oleh usulan-usulan sektor. Kekecewaan masyarakat bertambah ketika ditolaknya usulan mereka tidak disertai penjelasan atau alasan, dan berapa usulan mereka yang diterima. Dengan demikian, dominasi eksekutif dan legislatif dalam proses perencanaan dan penetapan anggaran harus dikurangi.
Sekadar urun rembug, pemerintah harus ’’membangun kemitraan strategis’’ dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam penganggaran. Sebagaimana diketahui, selama ini proses perencanaan, pembahasan, penetapan dan implementasi penganggaran selalu didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Miskinnya partisipasi masyarakat inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kongkalikong, kolusi, koncoisme, dan nepotiseme (KKN) dan tradisi mark up anggaran.
Karena itu, upaya secara sungguh-sungguh harus dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam membangun kemitraan strategis dengan kelompok masyarakat sipil dalam setiap menentukan kebijakan di daerah. Proses musrenbangdes, musrenbangcam dan murenbangkab yang telah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu diharapkan tidak sebatas menjadi instrumen, tetapi benar-benar menjadi acuan pelaksanaan program pembangunan Kabupaten Batang 2009/2010. Karena itu tercipta pembangunan daerah terarah, transparan, dan berpihak pada rakyat.

— Muhamad Imron, Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please comment