Jumat, 06 Agustus 2010

Pembangunan Partisipatif Warga Batang

Oleh: Muhamad Imron

PEMBANGUNAN daerah yang berlangsung terus menerus dalam istilah Cleaver (2000) lebih dipahami sebagai kontri-busi masyarakat un-tuk meningkatkan efektivitas dan efi-siensi. Pembangunan ini dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, kepentingan umum, transparansi, proporsional, profesional, akuntabilitas, dan berkelanjutan.
Secara yuridis-formal, dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 telah disebutkan anggaran ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari aspek hukum, kebijakan pembangunan partispatif telah diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain adalah Undang-undang (UU) No 17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengisyaratkan ada kerangka perencanaan jangka menengah, UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 105 tentang Pengelolaan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP No. 108 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, juga Surat Edaran Bersama No. 1354/M.PPN/03/2004-50/744/Sj oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemerintah daerah menjaring partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran.
Berpijak dari beberapa peraturan perundang-undangan itu, setiap daerah dituntut mampu mengimplementasikan dengan baik, termasuk Kabupaten Batang. Untuk mempermudah proses perencanaan tersebut, pemerintah mengeluarkan Surat Ke-putusan Bupati No 14/2003 tentang Pe-doman Perencanaan Pembangunan Par-tisipatif. Dalam keputusan tersebut disebutkan tujuan diselenggarakan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas peran serta seluruh pelaku pembangunan, dan menghasilkan perencanaan pembangunan yang partisipatif. Karena itulah, pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan daerah (lihat pasal 5).
Adapun mekanisme pelaksanaannya telah diatur dalam pasal 6. Pertama, setiap perangkat daerah wajib menfasilitasi dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif dari tingkat desa/kelurahan (musrenbang), kecamatan (musrenbangcam) dan daerah (musrenbangkab/kota) sesuai de-ngan tugas pokok dan fungsinya.
Kedua, setiap dinas, badan, kantor dan sekretariat daerah wajib menyerap hasil rakorencam untuk menjadi usulan program pembangunan ke dalam rakorenda dengan memperhatikan program pembangunan daerah (propeda) dan rencana strategi daerah (renstrada). Adapun bentuk partisipasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, lisan atau tulisan, perorangan maupun kelompok atau perwakilan.
Untuk perencanaan pembangunan Kabupaten Batang 2009/2010, musrenbang dilaksanakan mulai 27 Januari-14 Februari 2009. dalam hal ini pemerintah melakukan kerjasama dengan konsorsium Demokrasi Rakyat Untuk Perubahan (DERAP) Kabupaten Batang sebagai pemantau pelaksanaan musrenbang di tingkat desa, kecamatan, hingga pengawalan di tingkat kabupaten.

Mendua
Menyitir teori Mark Considine (Public Policy A Critical Approach, 1994), kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan hasil lain dengan nilai-nilai yang diyakini —oleh aktor pembuat kebijakan— adanya seperangkat komunikasi norma-norma etika dan moral, jalinan kepercayaan (trust) dan solidaritas antar aktor.
Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan ’’nilai-nilai’’ yang antinilai, seperti dominasi dan proses nondevelopmental. Dan nilai-nilai yang menjadi basis kebijakan publik dapat bersifat antagonistik.
Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian tidak berada dalam ruang terbuka untuk melakukan proses demokratisasi. Institusionalisasi kedewasaan berargumentasi dalam kebijakan tidak tumbuh, partisipasi masyarakat terabaikan, dan legitimasi publik akan pemerintahan luntur. Dengan demikian, kebijakan dipandang menjadi milik sekelompok orang atau elite yang
mengatasnamakan masyarakat untuk merealisasikan kepentingan ’’publik’’.
Karena itulah, tidak heran jika kemudian masyarakat menjadi apatis. Hal ini nampaknya disebabkan oleh minimnya usulan-usulan masyarakat yang terakomodasi dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Berdasarkan hasil pengamatan FITRA (2005/2006), usulan-usulan masyarakat hampir 50% ditingkat kecamatan hilang, sementara pada tingkat rakorbang hilang sampai 80%. Hal ini mengindikasikan bah-wa pertarungan aspirasi masyarakat pada level yang lebih tinggi dengan mudah dikalahkan oleh usulan-usulan sektor. Kekecewaan masyarakat bertambah ketika ditolaknya usulan mereka tidak disertai penjelasan atau alasan, dan berapa usulan mereka yang diterima. Dengan demikian, dominasi eksekutif dan legislatif dalam proses perencanaan dan penetapan anggaran harus dikurangi.
Sekadar urun rembug, pemerintah harus ’’membangun kemitraan strategis’’ dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam penganggaran. Sebagaimana diketahui, selama ini proses perencanaan, pembahasan, penetapan dan implementasi penganggaran selalu didominasi oleh pemerintah dan legislatif. Miskinnya partisipasi masyarakat inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kongkalikong, kolusi, koncoisme, dan nepotiseme (KKN) dan tradisi mark up anggaran.
Karena itu, upaya secara sungguh-sungguh harus dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam membangun kemitraan strategis dengan kelompok masyarakat sipil dalam setiap menentukan kebijakan di daerah. Proses musrenbangdes, musrenbangcam dan murenbangkab yang telah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu diharapkan tidak sebatas menjadi instrumen, tetapi benar-benar menjadi acuan pelaksanaan program pembangunan Kabupaten Batang 2009/2010. Karena itu tercipta pembangunan daerah terarah, transparan, dan berpihak pada rakyat.

— Muhamad Imron, Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Potensi HIV/AIDS di Batang

Oleh Muhamad Imron

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Adapun AIDS (Acquired Immunedeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala dan tanda penyakit. Penularan virus ini akan terjadi apabila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV.
Antara lain melalui hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV, melalui tranfusi darah dan transpalasi organ yang tercemar oleh HIV, alat/jarum suntik yang tidak steril bahkan melalui ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang dikandung. Ironisnya, penyakit ini hingga saat ini belum ditemukan obatnya.
Epidemi HIV/AIDS di Asia dan Pasifik cenderung meningkat lebih pesat terutama di negara dengan jumlah penduduk besar seperti China, India, dan Indonesia.
Meskipun tingkat penularan pada populasi umum masih rendah, tetapi jumlah absolut yang terinfeksi cukup besar. Pada 2005 di perkirakan 39,4 juta orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di dunia, 90 persen di negara berkembang. Bahkan berdasarkan data pada 2007 jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 9.689 kasus, 82 persen di antaranya menimpa penderita usia produktif.
Bahkan angka penularan infeksi HIV/AIDS tahun 2010 diprediksikan akan meningkat tajam antara 1-5 juta dengan angka kumulatif berkisar antara 93.968-130.000 kasus. Hal ini tentu berdampak pada aspek sosial, ekonomi, kesehatan dan politik.
Penyebaran virus mematikan ini tidak hanya di kota-kota besar, tetapi sudah merambah ke berbagai pelosok daerah di Indonesia. Di Jawa misalnya, di antara daerah yang cukup rentan adalah sepanjang jalur pantura, terutama dilokalisasi dan warung remang-remang.
Berdasarkan data 1993-30 Maret 2006 terdapat 738, dan 83 kasus (62,87 persen) meninggal. Di antara daerah pantura di Jawa Tengah yang potensial bagi penularan HIV/AIDS adalah kawasan Alas Roban Kabupaten Batang yang merupakan titik lelah perjalanan truckers. Bahkan kabupaten ini menjadi daerah prioritas di Jawa Tengah.
Setidak-tidaknya ada belasan lokalisasi yang rawan dengan penyebaran HIV/AIDS di Kabupaten Batang. Maka untuk mengurangi angka penularan HIV/AIDS, Pemerintah Kabupaten Batang yang dalam hal ini dibidangi oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) bersama-sama dengan LSM dan unsur masyarakat melakukan pendampingan.

Di antaranya organisasi-organisasi tersebut adalah Family Health International (FHI), United States Agency International Development (USAID), PC Fatayat NU Kabupaten Tegal, Gesang dan Graha Mitra dengan masing-masing wilayah pendampingan. Fatayat NU mendampingi WPS/PSK dan truckers, Gesang mendampingi gay dan Graha Mitra terfokus pada waria.
Tujuh Titik Meskipun terdapat belasan lokalisasi, hanya ada tujuh titik yang menjadi daerah pendampingan prioritas dan dianggap berpotensi besar bagi penyebaran virus tersebut. Di antaranya adalah daerah Surodadi, Resos Penundan, Resos Banyuputih, Wuni, Jrakah Payung, Boyongsari dan Bong Cina.
Berdasarkan data yang dihimpun dari klinik Inveksi Menular Seksual (IMS) HIV/AIDS KPA Kabupaten Batang (Desember 2008), setidak-tidaknyanya ada sekitar 52 orang yang terjangkit virus HIV/AIDS.
Angka ini akan terus bertambah jika tidak ada penanganan secara serius. Bentuk upaya yang sudah dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi kesadaran pemakaian alat kontrasepsi, pemeriksaan IMS HIV/AIDS dan VCT (Voluntary Conseling and Testing) secara berkala setiap bulan sekali.
Tidak hanya sosialisasi, mereka juga membagikan alat kontrasepsi secara gratis. Namun demikian, hanya sekitar 10-15 persen yang secara rutin menggunakan alat kontrasepsi. Alasan sebagian dari mereka adalah ’’kenyamanan’’.

Tanggung Jawab Bersama
Virus mematikan ini seharusnya menjadi isu bersama yang membutuhkan tanggung jawab bersama pula, yaitu antara ulama, umaro atau pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk kelompok kerja (pokja) yang berasal dari unsur kepolisian, koramil dan pemerintah kecamatan setempat di setiap lokalisasi.
Pemerintah juga harus melakukan upaya preventif untuk mengurangi kemeningkatan angka penularan HIV/AIDS di kalangan WPS/PSK dan wanita-wanita rawan sosial lain, yaitu dengan menertibkan warung remang-remang yang berpotensi menjamurnya lokalisasi terselubung di sepanjang pantura, sehingga pemantauan akan lebih terkontrol.
Yang tidak kalah penting adalah dengan memberikan bekal keterampilan yang berorientasi pada kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dengan bekal keterampilan ini diharapkan akan mampu menggugah kemandirian ekonomi masyarakat dan mampu mengurangi kecenderungan mereka untuk terjun dalam ’’dunia esek-esek’’ dengan alasan mendasar mereka adalah ’’faktor ekonomi’’.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) merupakan bagian dari lingkungan sosial kita, bukan momok menakutkan yang harus selalu dijauhi.
Sebaliknya, kita harus memberikan dukungan moral agar mereka bisa hidup berdampingan dengan kita, lebih-lebih berkenan meninggalkan dunia lamanya.

—Muhamad Imron, Esais dan peneliti di Lakspesdam NU

Mengawal Penyaluran Dana Pendidikan

Oleh : Muhamad Imron
Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009, meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat.
Salah satu alasan rendahnya partisipasi pendidikan, terutama kalangan miskin adalah tingginya biaya pendidikan. Hal ini didukung oleh data SUSENAS yang mengungkapkan bahwa terjadinya putus sekolah, sebagian besar disebabkan oleh alasan ekonomi, baik karena minimnya biaya ataupun anak harus bekerja. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kelompok miskin tidak akan mampu menjangkau pendidikan tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
Tidak heran ketika pendidikan ‘gratis’ menjadi impian setiap orang. Dan nampaknya mimpi itu ‘hampir’ menjadi sebuah kenyataan, ketika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Memorandum of Understanding (MoU) untuk mengalihkan sebagian Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk membantu meringankan beban siswa kurang mampu, melalui program Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM dalam bentuk Bantuan Operasinal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Muirid (BKM).
Maksud pemberian program tersebut tidak lain adalah untuk merealisasikan amanat yang tertera dalam UUD 45 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Juga sebagai bentuk respon pemerintah dalam mewujudkan agenda yang telah ditetapkan dalam kesepakatan internasional, seperti Education For All (EFA) dan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu memberikan pendidikan yang merata pada semua anak, dimanapun, laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, banyak realitas di lapangan yang tidak sesuai dengan program. Entah kenapa menjadi demikian. Apakah program ini hanya sebatas wacana semata atau memang ada indikator lain (penyelewengan).
Berpijak dari sinilah, harus ada solusi kongkrit untuk mengawal pelaksanaan program tersebut. Terutama untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan, salah satunya adalah korupsi. Ada beberapa langkah yang ‘mungkin’ cukup ideal untuk menjembataninya.
Pertama, Alokasi dan Seleksi Penerima. Ada tiga beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu menentukan quota jumlah murid masing-masing propinsi secara proporsional, menentukan quota jumlah murid penerima berdasarkan indikator siswa dari keluarga pra sejahtera, besar iuran sekolah, jarak sekolah dan indikator lokal lainnya. Tahap berikutnya adalah penyeleksian murid penerima bantuan secara fair.
Kedua, Mekanisme Penyaluran dan Pengambilan Dana. Mekanisme penyaluran dana dapat dilakukan melalui mekanisme dekonsentrasi, serta melakukan kerja sama dengan kantor wilayah Pos yang ditunjuk pemerintah. Sedangkan mekanisme pengambilan dana dapat dilakukan melalui kantor pos, dengan menyertakan SK Kepala Sekolah tentang daftar siswa penerima bantauan, atau diwakili oleh tim sekolah dengan menyertakan SK penetapan alokasi dari tim dan surat kuasa siswa.
Ketiga, Pemanfaatan dan Pembatalan Bantuan. Bantuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk iuran sekolah, pembelian perlengakapan murid dan lain sebagainya. Sedangkan bantuan dapat dibatalkan jika penerima berhenti sekolah, menerima beasiswa dari instansi/sumber lain, dan atau telah terbukti melakukan tindakan kriminal. Dan pihak sekolah pun harus segera mencari penggantinya.
Keempat, Menajemen Pengelolaan Program. Pengelolaan program akan dilakukan di tiga tingkatan. Tingkatan Pusat yang terdiri dari unsur Menkokesra, Bappenas, Depdiknas, Depag Dan Depkeu. Tingkat Propinsi yang terdiri dari unsur Dinas Pendidikan dan Kanwil Depag. Tingkat Kab/Kota yang terdiri dari unsur Dinas Pendidikan dan Depag Kab/Kota. Dan Tingkat Sekolah yang teridiri dari Kepala Sekolah dan guru.
Kelima, Monitoring, Supervisi dan Pelaporan (evaluasi). Agar program berjalan dengan lancar dan transparan, maka monitoring, supervisi dan pelaporan (evaluasi) harus dilakukan secara efektif. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan pemantauan (advokasi), pembinaan dan penyelesaian masalah (problem solving), monitoring pelaksanaan program, monitoring kasus pengaduan dan penyelewengan dana serta penanganannya.
Keenam, Pengawasan dan Sangsi. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat vital untuk meminimalisir terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pengawasan pelaksanaan program dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten, diantaranya adalah Tim Monitoring Independen, unsur masyarakat dan LSM, Instansi Pengawasan BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, KP2KKN dan Bawasda (Propinsi dan Kab/Kota.).
Adapun sangsi terhadap penyalahgunaan wewenang dijatuhkan oleh aparat/pejabat yang berwenang. Bentuk sangsi dapat berupa penerapan sangsi kepegawaian, penerapan tuntutan dan ganti rugi, penerapan proses hukum maupun pemblokiran dana bantuan. ‘Bahkan bila perlu penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi’.
Langkah-langkah tersebut hanya akan menjadi sebuah bayangan saja, ketika tidak ada dukungan dari berbagai pihak, pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga yang berkompeten lainnya. Tetapi, yang lebih penting adalah kesadaran kolektif akan signifikansi pendidikan.
Generasi muda (pelajar) adalah komponen vital yang mempunyai tanggungjawab besar terhadap berbagai perubahan. Dimana setiap titik ideologis dari pikiran-pikirannya, menjadi sesuatu yang sangat penting dalam memulihkan martabat sejarah rakyatnya.
Semoga bermanfaat.

Puasa dan Pengendalian Syahwat Korupsi

Oleh: Muhamad Imron

Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai keragamannya, mulai dari suku, ras, budaya, tradisi bahkan agama dan kepercayaan. Setidaknya ada 6 yang secara formal mempunyai legalitas, diantaranya adalah Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, bahkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Kehidupan beragama pada tataran ritual dengan segala sarana dan prasarana yang ada, menunjukkan tingkat perkembangan yang pesat. Namun demikian, kehidupan keberagamaan ini nampaknya belum mampu menjadi tonggak bagi pembentukan moralitas baik dari aspek sosial dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tragedi berdarah dan konflik di beberapa daerah di Indonesia yang berlatar belakang ras, etnis dan agama.
Demikian juga dalam kehidupan bernegara, terbentuknya good gevernace dan political will nampaknya masih terlampau jauh dari kehidupan bangsa yang beragama ini. Beberapa tindakan kriminalitas, korupsi, adu kepentingan menunjukkan bahwa ternyata keberagamaan bangsa ini kurang begitu menyentuk aspek moralitas bangsa itu sendiri.
Korupsi, ternyata tindak korupsi bumi nusantara ini menduduki peringkat cukup fenomenal di dunia. Berdasarkan data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) –Hongkong dan Transfarency Internasional– Jerman, tahun 2009-2010, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik.
Hal ini tentunya sangat paradoksal jika kita seringkali bangga mengatakan bahwa kita taat beragama. Atau memang korupsi sudah menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Menarik sekali celetukan yang dikemukakan oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (18/2/10) bahwa, “hampir semua pejabat itu korupsi”. . Meskipun terjadi peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun secara regional pemberantasan korupsi berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Barangkali salah satu permasalahan utamanya adalah reformasi birokrasi yang berjalan kurang mulus (stagnan).

Perspektif Teologi
Menyitir pendapat Teten Masduki bahwa keberhasilan negara-negara yang dinilai bersih terkait dengan dua faktor, yaitu political will pemerintahnya yang kuat dan masyarakatnya yang tidak tolerans terhadap korupsi.
Dalam konteks Indonesia, beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak korupsi, antara lain adalah lemahnya political will pemerintahan dalam menciptakan good governance, minimnya toleransi masyarakatnya terhadap tindak korupsi, lemahnya kontrol terhadap pejabat publik dan budaya/tradisi korupsi itu sendiri. Sikap tolerans atau tidaknya suatu kelompok sosial terhadap tindak korupsi sangat terkait dengan kebudayaan (sistem kepercayaan/nilai/agama yang dipraktikkan).
Korupsi dalam kacamata agama-agama, korupsi nampaknya merupakan istilah baru, bahkan belum dikenal. Diskursus yang seringkali menjadi bahan perbincangan adalah istilah ”suap”.
Dalam wacana teologi (Islam), kepentingan publik dan hususnya kepentingan golongan yang lemah, acapkali diidentikkan sebagai kepentingan Allah, haq Allah atau sabil Allah. Oleh sebab itu, karena praktek suap secara nyata berlawanan dengan prinsip pemihakan pada kebenaran dan keadilan sebagai kepentingan bersama, maka Allah benar-benar telah menyatakan kutukan atasnya. Dalam salah satu hadit Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim dinyatakan “la’ana Allah al-raasyi wa al-murtasyi” (Allah mengutuk orang yang membari suap dan yang menerima suap). Dengan laknat atau kutukan Allah baik terhadap pemberi (al-raasyi) maupun penerima (al-murtasyi), hadits ini menegaskan bahwa suap merupakan tindakan yang sangat tercela dan dibenci oleh agama, atau hukum moral.
Dalam perspetif agama lain, sebagaimana tertuang dalam Kitab Eksodus dikatakan ”suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikan perkara orang-orang yang benar”. Demikian dalam Bible bahwa ciri orang yang berada dalam jalan yang benar adalah tidak tersentuh uang suap dan ciri raja yang zalim adalah memakan harta suap.
Tindakan ini akan menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar dalam tata kehidupan manusia, terutama dalam aspek sosial-politik dan bernegara. Benih-benih korupsi dapat tercipta mulai dari lingkungan yang paling terkecil, eluarga misalnya. Jika sejak dini, pendidikan moral dan nilai-nilai agama tidak ditanamkan dengan baik, tidak menutup kemungkinan akan menghasilan generasi masa bangsa yang gelap mata, tidak mengenal halal haram yang ada hanyalah kepentingan individu semata. Tdak heran jika kemudian tindakan ini sangat dibenci oleh agama manapun.

Puasa Korupsi
Saat ini umat Islam di segala penjuru dunia tengah melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. Selama satu bulan itu pula setiap umat dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Jika larangan-larangan itu dilakukan –walau qoliilan- maka puasa seseorang dinyatakann tidak sah.
Diantara khikmah dari bulan puasa adalah tidak melakukan korupsi, baik berupa korupsi waktu, makan, minum, maksiat dan lain sebagainya yang melenceng dari norma dan nilai agama.
Shaum dalam perspektif etimologi yaitu ”al Imsak” (menahan diri), adapun pengertian menurut syari' adalah menahan diri dengan niat dari seluruh yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan segala perbuatan yang dapat mebatalkannya. Namun, secara implisit dalam puasa terdapat dua nilai yang menjadi parameter antara sah atau rusaknya puasa seseorang.
Pertama, Nilai Formal yaitu yang berlaku dalam perspektif ini puasa hanya tinjau dari segi menahan lapar, haus dan birahi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori "banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja".
Kedua, Nilai Fungsional yaitu yang menjadi parameter sah atau rusaknya puasa seseorang ditinjau dari segi fungsinya. Adapun fungsinya sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an: 2; 183 yaitu untuk menjadikan manusia bertakwa (laa'lakum tattaqun).
Meminjam istilah Rasyid Ridha bahwa essensi dari pausa adalah Tarbiyat aliradat (pendidikan keinginan), Thariqat al Malaikat, Tarbiyat al Ilahiyyat (pendidikan ketuhanan), dan Tazkiyat an Nafsi (penyucian jiwa). Maka, dengan berpuasa, akan terbentuk sebuah kesadaran bahwa dalam setiap langkah kehidupan ini selalu diawasi oleh yang maha mengetahui.
Bertalian dengan korupsi, ada beberap faktor yang mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan merugian tersebut, diantaranya adalah karena adanya kebutuhan, peluang, sasaran, dan kesempatan. Sementara mereka tidak sadar bahwa di luar nalar sadar kita ada dzat yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik kita.
Jika dianalisa secara mendalam, puasa mempunyai beberapa nilai dan pesan moral mendasar dalam sendi-sendi kehidupan. Dengan tidak maan dan minum pada prinsipnya melatih untuk berperilaku sederhana dan tidak serakah. Perspektif korupsi, kebutuhan yang terlalu berlebihan (serakah) dan pola hidup glamour nampaknya cukup menjadi representasi terjadinya korupsi.
Khikmah yang lain adalah melatih kejujuran. Disiang bolong, kita bisa saja makan dan minum tanpa ada seorang pun yang tahu, dan enjoy ketika kita ikut berbuka puasa. Jika kita semua terbiasa berpuasa dengan mengharap ridlo Illahi, tidak mungkin kita akan melakukan korupsi bentuk apapun untuk memperoleh ridlo tersebut. Tidak jauh berbeda dengan kehidupan ini, jika kita membiasakan diri untuk berperilaku jujur terhadap diri sendiri, Tuhan maupun orang lain, maka mustahil untuk melakukan tindakan korupsi.
Dengan berpuasa, tentunya nafsu kita akan terkendali. Baik nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan jasmani, maupun kebutuhan rohani, terutama syahwat korupsi.
Secercah harapan, dengan berakhirnya puasa nanti, akan membawa nilai posistif bagi pembentukan moralitas dan niali ahlakul karimah bangsa ini, baik pimpinan nasional, pejabat, legislatif, pegawai biasa maupun rakyat biasa, tidak lagi berperilaku koruptif. Evaluasi diri, memahami semua perilaku selama ini merugikan orang lain tentunya menjadi bahan renungan untuk melakukan reformasi diri menjadi insan yang lebih baik.
Semoga bermanfaat.

Muhamad Imron
Penulis adalah Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Menjadi Mon Of Analysis

Perguruan tinggi merupakan suatu wadah yang digunakan untuk research dan development serta arena penyemaian manusia baru untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian serta kompetensi keilmuan sesuai bidangnya. Generasi itu tidak lain adalah para ‘mahasiswa’. Sebuah lebel yang luar biasa bagi siswa dalam potret pendidikan kita.
Mahasiswa setidaknya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu mahasiswa akademik dan mahasiswa organisasi. Mahasiswa akademik, mahasiswa yang hanya datang, duduk, kuliah, selanjutnya pulang (in the kost). Mahasiswa seperti pada kategori pertama ini cenderung lebih jarang muncul dan mondar-mandir di kampus, terlebih jika tidak ada aktivitas belajar. Hidup bersosialisasi dan membangun jaringan menjadi prioritas utamanya.
Kedua kategori tersebut mempunyai nilai min dan plus masing-masing. Mahasiswa akademik pada umumnya mempunyai kemampuan lebih dalam bidang intelektual, namun lemah dari sisi kepekaan sosial. Demikian sebaliknya. Jika keduanya dipadukan dengan baik, dipastikan akan menghasilkan produk yang unggul, baik dari segi akademis, kemandirian dan kepekaan sosial.
Di kalangan kampus, keberadaan pergerakan mahasiswa cukup diperhitungkan bagi sejumlah kalangan, terutama kalangan politisi dan birokrasi. Diperhitungkan karena idealisme dan sikap kritisnya. Dalam perspektif indoensia gelombang gerakan mahasiswa terkait erat dengan situasi sosial dan dinamika masyarakat yang mengitarinya sudah barang tentu pendapat ini menempatkan posisi mahasiswa dalam horison yang strategis. Terutama pada era 1910-an sampai 1950-an, era 1960-an ketika kekuatan militer muncul sebagai suatu sumber kepemimpinan bangsa yang dominan.
Memasuki era 1980-an persepsi tentang gerakan mahasiswa mengalami pergeseran, akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi yang mengeras dari birokrasi universitas. Mahasiswa merenung kembali peranan serta kedudukannya serta otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Oleh karena itu aktifitas gerakan mahasiswa, lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan kontemplasi.
Mahasiswa tidak lagi hanya menjadi agen politik praktis, tetapi sebagai man of analysis. Semangat ini memunculkan kesadaran baru terhadap ideologi gerakan mahasiswa dengan menyeimbangkan idealitas dan realitas. Gerakan ini diwujudkan secara khas melalui media sebagai juru bicara rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya dalam bentuk aksi dan advokasi terhadap korban pembangunan tersebut.
Dalam hal ini pers kampus (LPM) harus kembali menjadi media gerakan kampus yang mampu menyuarakan gerakan rakyat, ide dan gagasan yang konstruktif bagi masa depan bangsa. Buka justru sebaliknya, tergerus oleh arus pragmatisme. LPM harus mampu mencetak Man of Analysis yang mandiri, kritis, tegas, jujur dan tidak mudah goyah dalam setiap menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Semoga bermanfaat.

Tong-Tong Prek Semarakkan Romadlon

Oleh: Muhamad Imron

Mendilaogkan nusantara seakan tidak pernah ada habisnya, selalu ada yang menarik untuk dikaji di dalamnya. Mulai dari keragaman agama, suku, budaya, adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah kesenian daerah. Hal ini menunjukkan adanya keragaman identitas, jati diri, media ekspresi yang khas dari masyarakat Indonesia.
Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai tradisi kesenian tradisional yang khas. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumennya. Kesemuanya mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi, hingga kemudian mampu menciptakan identitas dan karakter khas dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Ada satu kesenian yang cukup khas menjelang datangnya bulan suci romadlon, terutama di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu seni ”Tong-Tong Prek”. Sekitar tahun 1990-an setiap kali menjelang romadlon, hampir seluruh anak-anak –bahkan remaja- disibukkan dengan membuat kentongan (sebuah alat musik tradisonal yang terbuat dari bambu). Terlebih di daerah pedesaan, bagi mereka puasa tanpa kentongan terasa kurang sempurna.
Kesenian tradisional yang konon merupakan tradisi masyarakat Pekalongan ini nampaknya sudah ditakdirkan sebagai alat musik yang digunakan khusus untuk membangunkan warga yang akan bersantap sahur. Alunan musik bambu ini akan tampak rancak dan berirama ketika dimainkan oleh banyak orang. Sehingga orang yang mendengar akan segera bangkit dari tidurnya untuk melakukan sahur. ”Tong-Tong Prek” ini akan terus berkeliling kampung menyemarakkan bulan suci umat Islam ini hingga usai.

Meredup
Disadari atau tidak bahwa kemajuan teknologi cukup mempengaruhi perkembangan kesenian tradisional kita. Tidak jarang generasi muda yang digaungkan mampu menjadi peletak dasar batu peradaban bangsa justru berdiam diri, terlena oleh kemewahan teknologi, lebih enjoy dengan ekses budaya luar, hingga kemudian tanpa sadar terseret dalam westernisasi tanpa bisa berdiri tegak dengan identitasnya sebagai individu yang berbudaya. Pada akhirnya identitas bangsa akan terlupakan dengan sendirinya.
Karena itulah tidak heran jika kemudian beberapa waktu yang lalu, bangsa ini sempat dibuat marah oleh negara tetangga lantaran beberapa produk budayanya diklaim sebagai produk asli mereka. Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, Batik Pekalongan adalah bagian dari bentuk ketelodoran terhadap harta kekayaan kita sendiri yang semestinya dijaga dengan baik.
Demikian juga dengan ”Tong-Tong Prek” jika tidak dijaga dengan baik, tidak mustahil akan mengalami hal yang sama. Jika tidak diklaim oleh orang lain, akan hilang terkubur oleh modernitas.
Indikasi mulai meredupnya kesenian tradisional ini dapat disaksikan dengan semakin jarangnya tradisi mendengar irama kentongan. Disadari atau tidak bahwa, remaja saat ini lebih banyak memilih sesuatu yang instan dan praktis, tidak ribet serta tidak perlu sibuk memotong bambu jika masih banyak benda lain yang bisa digunkan, seperti pipa besi, ember, botol, galon dan lain sebagainya.
Agar kesenian tradisional tersebut tetap membumi dan tidak hanya hidup ketika puasa tiba, harus ada pelestarian. Dengan berbagai media yang ada, dengan mengadakan festival atau even-even yang lain misalnya.
Beberapa daerah di Jawa Tengah yang saat ini masih intens menjaga dengan baik tradisi ini adalah karesidenan Banyumas, salah satunya adalah kabupaten Purbalingga. Bahkan kelompok kesenian tradisional asal kabupaten yang akrab disapa dengan ”ngapak-ngapak” ini siap untuk go international.
Keterjagaan dan kelestarian ini tentunya menjadi PR besar kita bersama, termasuk pemerintah. Tidak hanya Tong-Tong Prek saja, tetapi jenis musik-musik tradisional lainnya yang belum sempat dipatenkan juga harus menjadi prioritas untuk disaving dalam perbendaharaan khazanah kekayaan budaya kita. Lestari, terjaga dan mampu berkembang dengan baik. Bukan justru hanyut oleh derasnya arus modernisasi.
Semoga bermanfaat.


Muhamad Imron
Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Rabu, 04 Agustus 2010

Eksplorasi Potensi Pinggiran Batang

HINGGA saat ini, banyak daerah pinggiran (peri feri) di kabupaten/ kota di Jateng yang potensinya belum dieksplorasi secara maksimal. Optimalisasi potensi itu dapat berupa pengembangan agrobisnis, agroindustri, atau agrowisata. Padahal bila dikelola secara profesional, sumber daya itu mampu mendongkrak pendapatan dan percepatan pengembangan wilayah sekitar.

Daerah pinggiran di Kabupaten Batang sejatinya menyimpan banyak potensi. Terlebih melihat posisi daerah ini di jalur pantura Jawa yang diharapkan bisa mempercepat akselesasi pengembangannya, utamanya terkait sektor jasa, transit, dan transportasi.
Kondisi geografis kabupaten ini merupakan kombinasi antara pantai, dataran rendah, dan pegunungan yang kaya akan sumber daya alam berupa hutan dan laut/ perairan. Kondisi itu sangat mendukung pengembangan agroindustri, agrobisnis, dan agrowisata.

Daerah pantai misalnya, selain menyajikan potensi alam laut, cukup prospektif bagi pengembangan agroindustri sektor pertanian, perikanan, dan kelautan yang mengacu pada hasil tanaman seperti kakao, karet, kelapa, serta hasil tangkapan ikan. Sementara pada basis agroindustri, wilayah pantura merupakan kawasan yang strategis bagi pengembangan industri.

Kawasan ini juga cukup potensial bagi pengembangan wisata bahari dan panorama alamnya. Setidaknya ada dua tempat yang saat ini telah menjadi kebanggaan masyarakat Batang, yaitu pantai Ujungnegoro dan Sigandu. Berdasarkan Perda Nomor 14 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata, dua tempat itu menjadi prioritas utama pengembangan pariwisata.

Untuk mendukung pengembangan itu, pemda mengeluarkan SK Bupati Nomor 050/312/2003 tentang Pembebasan Retribusi Izin Usaha bagi Investor. Lewat SK itu diharapkan pengembangan Pantai Sigandu dan Ujungnegoro bisa lebih optimal.

Kawasan pegunungan juga menyimpan potensi besar bagi pengembangan agroindustri dan agrowisata. Pengembangan basis agroindustri mengacu pada berbagai hasil tanaman perkebunan seperti teh, kopi, cokelat, dan sayuran. Sedangkan agrowisata mengacu pada potensi alam dan kekayaan di dalamnya.
Salah satu agrowisata yang saat ini menjadi ikon adalah Kebun Teh Pagilaran.

Kawasan ini yang oleh sementara kalangan sering disebut ’’Puncak’’-nya Batang, menyuguhkan panorama alam pegunungan yang eksotik. Selain untuk keperluan wisata alam, daerah ini juga cukup potensial untuk wisata pendidikan.

Di lokasi tersebut pengunjung dapat melihat secara langsung proses pemetikan dan produksi teh. Keberadaan perkebunan teh itu juga dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah, seperti pelatihan dan penelitian. Salah satu perguruan tinggi yang menjalin kerja sama dengan pengelola adalah Universitas Gadjah Maha (UGM).
Kerja Sama Investasi Selain agrowisata, ada beberapa daerah pinggiran yang prospektif tapi belum digali secara maksimal. Misalnya . agrowisata (salak) di Sodong Wonotunggal, yang juga menghasilkan kapulaga, panili, dan cengkih. Kawasan lain adalah Curug Genting (Blado) dan Curug Gombong (Subah).

Selain wisata alam, beberapa daerah menyimpan benda atau petilasan purbakala seperti prasasti Sojomerto (Kecamatan Reban), Canggal (Warungasem), situs Syalendra (Gringsing), patung Ganesha dan reruntuhan Candi Hindu di Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal.

Di bagian selatan, yang berbatasan dengan Pegunungan Dieng ada dua daerah yang potensial dikembangkan agrowisata alamnya, yakni Pranten dan Gerlang.
Meskipun belum menjadi objek wisata secara formal, melihat potensinya seperti air terjun, sumber air panas, dan keindahaan alamnya, daerah itu cukup prospektif sebagai desa wisata dan agrobisnis, terutama sektor kehutanan dan peternakan.

Melihat potensinya, ada investor yang ingin berinvestasi untuk sentra peternakan sapi pedaging dan susu. Bahkan ada yang siap membangun hotel. Melihat semua potensi tersebut, rasanya sia-sia jika pemda tidak segera mengeksplorasinya secara maksimal.

Pemda bisa menjalin kerja sama dengan pihak ketiga untuk menggali dan mengembangkan potensi itu. Dengan manajemen dan pengelolaan yang baik, sumber daya alam itu bisa memberikan pemasukan yang signifikan, termasuk percepatan pembangunan bagi wilayah sekitarnya. (10)

— Muhamad Imron, peneliti pada Lakpesdam NU Batang

Wacana Suara Merdeka Edisi 29 Juni 2010

Berburu Sekolah Favorit

Oleh: Muhamad Imron
Tanpa disengaja saya membaca tulisan yang terpampang di sebuah situs universitas Kampus Kuning, seperti dikutip, di Jakarta, Senin (3/5/2010). "…Saya dari keluarga tidak mampu, memiliki daya juang yang tinggi, bisakah kuliah di Universitas Indonesia (UI)?...". Pertanyaan yang cukup menggelitik itu nampaknya menjadi representasi bagi para siswa yang baru lulus Ujian Nasional (UN) lainnya di Indonesia. Jika beberapa waktu lalu para siswa dipusingkan dengan kelulusan, saat ini konsentrasi mereka ditujukan ke mana mereka akan melanjutkan. Dan memilih sekolah lanjutan nampaknya bukan persoalan yang mudah, karena ia sangat erat kaitannya dengan masa depan dirinya. Terlebih bagi lulusan SLTA. Fenomena yang menarik dalam potret pendidikan kita pasca UN adalah berburu sekolah favorit, mulai dari lulusan TK hingga SLTA. Bagi lulusan SD maupun SLTP, sekolah yang berstatus Standar Nasional (SBN), Sekolah Berstandar Internasional (SBI) maupun RSBI selalu menjadi idaman setiap siswa. Demikian juga dengan lulusan SLTA yang hendak menuju jenjang Perguruan Tinggi (PT).
Berstatus favorit, tentunya memiliki input dan output yang dapat dibanggakan di mata masyarakat. Di Perguruan Tinggi misalnya, penilaian terhadap performansi favorit dapat diukur dari keberhasilannya dalam mewujudkan misi yang tercermin dalam kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi-nya. Ketiga bentuk kegiatan tersebut adalah kegiatan dalam bidang Pendidikan (academic), kegiatan dalam bidang Penelitian (research), dan kegiatan dalam bidang Pelayanan Masyarakat (Laporan EEDP, 1998). Berdasarkan pemeringkatan yang dilakukan Webometrics Januari 2009 pada situs www.webometrics.info, tiga perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka menempati posisi teratas untuk lingkup Indonesia, yakni Gadjah Mada University (UGM), Institute of Technology Bandung (ITB), dan University of Indonesia (UI).


Favorit
Dalam perspektif Indonesia, dari sudut manakah sisi favorit dan tidaknya sebuah institusi pendidikan diukur. Barangkali jika kita flashback jauh ke belakang, nampak ada kesan yang berbeda antara ‘kualitas’ institusi pendidikan negeri dengan swasta. Di Perguruan Tinggi, keberadaan PTN selalu dielu-elukan oleh sebagian besar calon mahasiswa baru. Sementara PTS tidak lebih dari sekedar tong sampah tempat pembuangan limbah dan barang bekas. Namun sejalan dengan berjalannya waktu, pemahaman itu mulai memudar dengan munculnya PTS yang kualitasnya tidak jauh berbeda dengan PTN, bahkan lebih unggul.
Kriteria unggulan atau favorit setidaknya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, diantaranya adalah mulai dari visi misi, status akreditasi, kurikulum, penyelenggara pendidikan, tenaga pengajar, fasilitas, aktivitas kemahasiswaan, prestasi dan kualitas lulusan yang mampu bersaing di bidangnya, serta penilaian dari luar (public opinion). Akreditasi misalnya, jika mengacu pada UU RI No. 20/2003 Pasal 60 ayat 1 dan 3, standarisasi akreditasi meliputi standar isi, standar proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan perguruan tinggi, standar biaya dan standar penilaian yang harus ditingkatkan secara terencana dan berkala. Hendaknya standarisasi ini dilakukan secara ketat dalam setiap proses akreditasi, bukan hanya sekedar formalitas untuk menaikkan ratting lembaga pendidikan semata. Kriteria spesifikasi keahlian juga menjadi penting, artinya penilaian ke arah fakultas atau jurusan/program studi. Sekolah maupun PT favorit biasanya memiliki ciri khas tersendiri dalam hal jurusan/program studi. Namun demikian peserta didik biasanya hanya melihat dari segi peminat dan efek komersial (kesempatan kerja) dari jurusan/program studinya saja, sementara kompetensi yang dimilikinya diindahkan.
Dalam tradisi Jawa dikenal istilah bibit, bebet dan bobot. Memilih PT, memperhatikan ketiga aspek tersebut juga penting. “Bibit” perguruan tinggi. PTS kadang-kadang kurang diminati, namun jangan menutup mata bahwa justru perguruan tinggi yang mampu berdiri sendiri menandakan bahwa semangat, keteguhan dan cita-cita pendirinya terhadap majunya pendidikan benar-benar teruji. “Bebet”, lingkungan dan iklim pergaulan juga menjadi bagian yang penting dalam pendidikan. Selanjutnya adalah “bobot” atau kualitas perguruan tinggi. Pandangan kita terkadang terbutakan dengan prestasi sebuah perguruan tinggi yang top saja, sementara lupa dengan kemana pemikiran kita akan dibawa, karena disitulah visi dan misi akan tercapai.

Dilematis
Dapat masuk dan belajar di sekolah atau PT favorit adalah salah satu cita-cita dan impian bagi sebagian besarsiswa. Namun, impian itu bukan persoalan mudah jika melihat ketatnya persaingan dan mahalnya biaya pendidikan saat ini. SLTP/SLTA misalnya, keberadaan SBN atau SBI yang saat ini mulai menjamur, selalu menjadi ukuran sekolah unggulan. Namun demikian, keberadaannya tidak jarang justru dimanfaatkan sebagai lahan bisnis. Dalam sebuah survei pada sebuah SMA di Jakarta yang membuka kelas internasional, biaya masuk yang dikenakan pada siswa mencapai 25 juta pada tahun pertama dan kedua, dan 31 juta pada tahun berikutnya, belum termasuk uang semester (Kompas/26/4/2010).
Demikian juga dengan PT favorit. Tidak sedikit yang memanfaatkan momen ini layaknya lelang sebuah produk dagangan. Siapa yang berani menawar mahal, maka berhak memperoleh satu kursi di PT bergengsi tersebut. Istilah yang oleh sebagian orang populer dikenal dengan istilah “komersialisasi pendidikan” ini nampaknya bukan merupakan barang baru lagi dalam potret pendidikan kita, bahkan sudah menjadi budaya. Akibatnya adalah hampir dipastikan yang dapat mengenyam bangku pendidikan hanya kalangan menengah atas saja. Sekolah atau PT favorit bukan melulu dipenuhi oleh kalangan intelektual, tetapi lebih banyak didominasi oleh mereka yang berkantong tebal, meskipun kualitas kecerdasannya pas-pasan. Terlebih lagi ketika RUU BHP disahkan oleh DPR pada 17 Desember 2008, yang kemudian dianggap sebagai embrio lahirnya komersialisasi pendidikan di PT. Mahalnya biaya pendidikan itu bertolak belakang dengan UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yaitu menyelenggarakan pendidikan yang mudah, murah dan dapat diakses masyarakat luas melalui proses yang demokratis tanpa adanya diskriminasi.
Ditengah-tengah ketatnya kompetisi antar perguruan tinggi, tidak jarang dijumpai perguruan tinggi yang mengabaikan proses pendidikan. Bahkan berani menghalalkan segala cara untuk memperoleh sebanyak-banyaknya jumlah mahasiswa baru. Ironisnya, perguruan tinggi justru hanya menjadi mesin pencetak uang. Produk lulusan perguruan tinggi yang proses pendidikannya asal-asalan -bahkan akal-akalan- seperti ini cenderung tidak mampu menghasilkan output yang berkualitas. Belum lagi jika melihat angka pengangguran di Indonesia yang telah mencapai lebih dari empat puluh lima (45) juta orang, langkah yang harus ditempuh adalah mencari pendidikan yang baik dan bermutu dan dibutuhkan pasar, bukan hanya murah dan asal saja. Tetapi harus sejalan dengan potensi yang ada dalam diri kita, baik potensi akademik maupun ekonomi.
Melihat pentingnya pendidikan saat ini, pemerintah harus bertanggung jawab sepenuhnya atasterlaksananya pendidikan yang menyeluruh dan merata tanpa harus membedakan cluster, status sosial, miskin dan kaya, dan tidak disriminatif.
Semoga bermanfaat.