Jumat, 06 Agustus 2010

Mengawal Penyaluran Dana Pendidikan

Oleh : Muhamad Imron
Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu 2004-2009, meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas melalui peningkatan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, dan pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau konflik, ataupun masyarakat penyandang cacat.
Salah satu alasan rendahnya partisipasi pendidikan, terutama kalangan miskin adalah tingginya biaya pendidikan. Hal ini didukung oleh data SUSENAS yang mengungkapkan bahwa terjadinya putus sekolah, sebagian besar disebabkan oleh alasan ekonomi, baik karena minimnya biaya ataupun anak harus bekerja. Fenomena ini mengindikasikan bahwa kelompok miskin tidak akan mampu menjangkau pendidikan tanpa adanya bantuan dari pemerintah.
Tidak heran ketika pendidikan ‘gratis’ menjadi impian setiap orang. Dan nampaknya mimpi itu ‘hampir’ menjadi sebuah kenyataan, ketika Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat Memorandum of Understanding (MoU) untuk mengalihkan sebagian Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk membantu meringankan beban siswa kurang mampu, melalui program Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM dalam bentuk Bantuan Operasinal Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Muirid (BKM).
Maksud pemberian program tersebut tidak lain adalah untuk merealisasikan amanat yang tertera dalam UUD 45 “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Juga sebagai bentuk respon pemerintah dalam mewujudkan agenda yang telah ditetapkan dalam kesepakatan internasional, seperti Education For All (EFA) dan Millenium Development Goals (MDGs), yaitu memberikan pendidikan yang merata pada semua anak, dimanapun, laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, banyak realitas di lapangan yang tidak sesuai dengan program. Entah kenapa menjadi demikian. Apakah program ini hanya sebatas wacana semata atau memang ada indikator lain (penyelewengan).
Berpijak dari sinilah, harus ada solusi kongkrit untuk mengawal pelaksanaan program tersebut. Terutama untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan, salah satunya adalah korupsi. Ada beberapa langkah yang ‘mungkin’ cukup ideal untuk menjembataninya.
Pertama, Alokasi dan Seleksi Penerima. Ada tiga beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu menentukan quota jumlah murid masing-masing propinsi secara proporsional, menentukan quota jumlah murid penerima berdasarkan indikator siswa dari keluarga pra sejahtera, besar iuran sekolah, jarak sekolah dan indikator lokal lainnya. Tahap berikutnya adalah penyeleksian murid penerima bantuan secara fair.
Kedua, Mekanisme Penyaluran dan Pengambilan Dana. Mekanisme penyaluran dana dapat dilakukan melalui mekanisme dekonsentrasi, serta melakukan kerja sama dengan kantor wilayah Pos yang ditunjuk pemerintah. Sedangkan mekanisme pengambilan dana dapat dilakukan melalui kantor pos, dengan menyertakan SK Kepala Sekolah tentang daftar siswa penerima bantauan, atau diwakili oleh tim sekolah dengan menyertakan SK penetapan alokasi dari tim dan surat kuasa siswa.
Ketiga, Pemanfaatan dan Pembatalan Bantuan. Bantuan tersebut dapat dimanfaatkan untuk iuran sekolah, pembelian perlengakapan murid dan lain sebagainya. Sedangkan bantuan dapat dibatalkan jika penerima berhenti sekolah, menerima beasiswa dari instansi/sumber lain, dan atau telah terbukti melakukan tindakan kriminal. Dan pihak sekolah pun harus segera mencari penggantinya.
Keempat, Menajemen Pengelolaan Program. Pengelolaan program akan dilakukan di tiga tingkatan. Tingkatan Pusat yang terdiri dari unsur Menkokesra, Bappenas, Depdiknas, Depag Dan Depkeu. Tingkat Propinsi yang terdiri dari unsur Dinas Pendidikan dan Kanwil Depag. Tingkat Kab/Kota yang terdiri dari unsur Dinas Pendidikan dan Depag Kab/Kota. Dan Tingkat Sekolah yang teridiri dari Kepala Sekolah dan guru.
Kelima, Monitoring, Supervisi dan Pelaporan (evaluasi). Agar program berjalan dengan lancar dan transparan, maka monitoring, supervisi dan pelaporan (evaluasi) harus dilakukan secara efektif. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan pemantauan (advokasi), pembinaan dan penyelesaian masalah (problem solving), monitoring pelaksanaan program, monitoring kasus pengaduan dan penyelewengan dana serta penanganannya.
Keenam, Pengawasan dan Sangsi. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat vital untuk meminimalisir terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan. Pengawasan pelaksanaan program dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten, diantaranya adalah Tim Monitoring Independen, unsur masyarakat dan LSM, Instansi Pengawasan BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, KP2KKN dan Bawasda (Propinsi dan Kab/Kota.).
Adapun sangsi terhadap penyalahgunaan wewenang dijatuhkan oleh aparat/pejabat yang berwenang. Bentuk sangsi dapat berupa penerapan sangsi kepegawaian, penerapan tuntutan dan ganti rugi, penerapan proses hukum maupun pemblokiran dana bantuan. ‘Bahkan bila perlu penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi’.
Langkah-langkah tersebut hanya akan menjadi sebuah bayangan saja, ketika tidak ada dukungan dari berbagai pihak, pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga yang berkompeten lainnya. Tetapi, yang lebih penting adalah kesadaran kolektif akan signifikansi pendidikan.
Generasi muda (pelajar) adalah komponen vital yang mempunyai tanggungjawab besar terhadap berbagai perubahan. Dimana setiap titik ideologis dari pikiran-pikirannya, menjadi sesuatu yang sangat penting dalam memulihkan martabat sejarah rakyatnya.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please comment