Jumat, 06 Agustus 2010

Tong-Tong Prek Semarakkan Romadlon

Oleh: Muhamad Imron

Mendilaogkan nusantara seakan tidak pernah ada habisnya, selalu ada yang menarik untuk dikaji di dalamnya. Mulai dari keragaman agama, suku, budaya, adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Diantaranya adalah kesenian daerah. Hal ini menunjukkan adanya keragaman identitas, jati diri, media ekspresi yang khas dari masyarakat Indonesia.
Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai tradisi kesenian tradisional yang khas. Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumennya. Kesemuanya mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi, hingga kemudian mampu menciptakan identitas dan karakter khas dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Ada satu kesenian yang cukup khas menjelang datangnya bulan suci romadlon, terutama di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah, yaitu seni ”Tong-Tong Prek”. Sekitar tahun 1990-an setiap kali menjelang romadlon, hampir seluruh anak-anak –bahkan remaja- disibukkan dengan membuat kentongan (sebuah alat musik tradisonal yang terbuat dari bambu). Terlebih di daerah pedesaan, bagi mereka puasa tanpa kentongan terasa kurang sempurna.
Kesenian tradisional yang konon merupakan tradisi masyarakat Pekalongan ini nampaknya sudah ditakdirkan sebagai alat musik yang digunakan khusus untuk membangunkan warga yang akan bersantap sahur. Alunan musik bambu ini akan tampak rancak dan berirama ketika dimainkan oleh banyak orang. Sehingga orang yang mendengar akan segera bangkit dari tidurnya untuk melakukan sahur. ”Tong-Tong Prek” ini akan terus berkeliling kampung menyemarakkan bulan suci umat Islam ini hingga usai.

Meredup
Disadari atau tidak bahwa kemajuan teknologi cukup mempengaruhi perkembangan kesenian tradisional kita. Tidak jarang generasi muda yang digaungkan mampu menjadi peletak dasar batu peradaban bangsa justru berdiam diri, terlena oleh kemewahan teknologi, lebih enjoy dengan ekses budaya luar, hingga kemudian tanpa sadar terseret dalam westernisasi tanpa bisa berdiri tegak dengan identitasnya sebagai individu yang berbudaya. Pada akhirnya identitas bangsa akan terlupakan dengan sendirinya.
Karena itulah tidak heran jika kemudian beberapa waktu yang lalu, bangsa ini sempat dibuat marah oleh negara tetangga lantaran beberapa produk budayanya diklaim sebagai produk asli mereka. Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, Batik Pekalongan adalah bagian dari bentuk ketelodoran terhadap harta kekayaan kita sendiri yang semestinya dijaga dengan baik.
Demikian juga dengan ”Tong-Tong Prek” jika tidak dijaga dengan baik, tidak mustahil akan mengalami hal yang sama. Jika tidak diklaim oleh orang lain, akan hilang terkubur oleh modernitas.
Indikasi mulai meredupnya kesenian tradisional ini dapat disaksikan dengan semakin jarangnya tradisi mendengar irama kentongan. Disadari atau tidak bahwa, remaja saat ini lebih banyak memilih sesuatu yang instan dan praktis, tidak ribet serta tidak perlu sibuk memotong bambu jika masih banyak benda lain yang bisa digunkan, seperti pipa besi, ember, botol, galon dan lain sebagainya.
Agar kesenian tradisional tersebut tetap membumi dan tidak hanya hidup ketika puasa tiba, harus ada pelestarian. Dengan berbagai media yang ada, dengan mengadakan festival atau even-even yang lain misalnya.
Beberapa daerah di Jawa Tengah yang saat ini masih intens menjaga dengan baik tradisi ini adalah karesidenan Banyumas, salah satunya adalah kabupaten Purbalingga. Bahkan kelompok kesenian tradisional asal kabupaten yang akrab disapa dengan ”ngapak-ngapak” ini siap untuk go international.
Keterjagaan dan kelestarian ini tentunya menjadi PR besar kita bersama, termasuk pemerintah. Tidak hanya Tong-Tong Prek saja, tetapi jenis musik-musik tradisional lainnya yang belum sempat dipatenkan juga harus menjadi prioritas untuk disaving dalam perbendaharaan khazanah kekayaan budaya kita. Lestari, terjaga dan mampu berkembang dengan baik. Bukan justru hanyut oleh derasnya arus modernisasi.
Semoga bermanfaat.


Muhamad Imron
Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please comment