Jumat, 06 Agustus 2010

Puasa dan Pengendalian Syahwat Korupsi

Oleh: Muhamad Imron

Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai keragamannya, mulai dari suku, ras, budaya, tradisi bahkan agama dan kepercayaan. Setidaknya ada 6 yang secara formal mempunyai legalitas, diantaranya adalah Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia, bahkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Kehidupan beragama pada tataran ritual dengan segala sarana dan prasarana yang ada, menunjukkan tingkat perkembangan yang pesat. Namun demikian, kehidupan keberagamaan ini nampaknya belum mampu menjadi tonggak bagi pembentukan moralitas baik dari aspek sosial dan bernegara. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tragedi berdarah dan konflik di beberapa daerah di Indonesia yang berlatar belakang ras, etnis dan agama.
Demikian juga dalam kehidupan bernegara, terbentuknya good gevernace dan political will nampaknya masih terlampau jauh dari kehidupan bangsa yang beragama ini. Beberapa tindakan kriminalitas, korupsi, adu kepentingan menunjukkan bahwa ternyata keberagamaan bangsa ini kurang begitu menyentuk aspek moralitas bangsa itu sendiri.
Korupsi, ternyata tindak korupsi bumi nusantara ini menduduki peringkat cukup fenomenal di dunia. Berdasarkan data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) –Hongkong dan Transfarency Internasional– Jerman, tahun 2009-2010, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik.
Hal ini tentunya sangat paradoksal jika kita seringkali bangga mengatakan bahwa kita taat beragama. Atau memang korupsi sudah menjadi budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Menarik sekali celetukan yang dikemukakan oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (18/2/10) bahwa, “hampir semua pejabat itu korupsi”. . Meskipun terjadi peningkatan persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia, namun secara regional pemberantasan korupsi berjalan mandeg dibanding negara-negara tetangga. Barangkali salah satu permasalahan utamanya adalah reformasi birokrasi yang berjalan kurang mulus (stagnan).

Perspektif Teologi
Menyitir pendapat Teten Masduki bahwa keberhasilan negara-negara yang dinilai bersih terkait dengan dua faktor, yaitu political will pemerintahnya yang kuat dan masyarakatnya yang tidak tolerans terhadap korupsi.
Dalam konteks Indonesia, beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak korupsi, antara lain adalah lemahnya political will pemerintahan dalam menciptakan good governance, minimnya toleransi masyarakatnya terhadap tindak korupsi, lemahnya kontrol terhadap pejabat publik dan budaya/tradisi korupsi itu sendiri. Sikap tolerans atau tidaknya suatu kelompok sosial terhadap tindak korupsi sangat terkait dengan kebudayaan (sistem kepercayaan/nilai/agama yang dipraktikkan).
Korupsi dalam kacamata agama-agama, korupsi nampaknya merupakan istilah baru, bahkan belum dikenal. Diskursus yang seringkali menjadi bahan perbincangan adalah istilah ”suap”.
Dalam wacana teologi (Islam), kepentingan publik dan hususnya kepentingan golongan yang lemah, acapkali diidentikkan sebagai kepentingan Allah, haq Allah atau sabil Allah. Oleh sebab itu, karena praktek suap secara nyata berlawanan dengan prinsip pemihakan pada kebenaran dan keadilan sebagai kepentingan bersama, maka Allah benar-benar telah menyatakan kutukan atasnya. Dalam salah satu hadit Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori-Muslim dinyatakan “la’ana Allah al-raasyi wa al-murtasyi” (Allah mengutuk orang yang membari suap dan yang menerima suap). Dengan laknat atau kutukan Allah baik terhadap pemberi (al-raasyi) maupun penerima (al-murtasyi), hadits ini menegaskan bahwa suap merupakan tindakan yang sangat tercela dan dibenci oleh agama, atau hukum moral.
Dalam perspetif agama lain, sebagaimana tertuang dalam Kitab Eksodus dikatakan ”suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikan perkara orang-orang yang benar”. Demikian dalam Bible bahwa ciri orang yang berada dalam jalan yang benar adalah tidak tersentuh uang suap dan ciri raja yang zalim adalah memakan harta suap.
Tindakan ini akan menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar dalam tata kehidupan manusia, terutama dalam aspek sosial-politik dan bernegara. Benih-benih korupsi dapat tercipta mulai dari lingkungan yang paling terkecil, eluarga misalnya. Jika sejak dini, pendidikan moral dan nilai-nilai agama tidak ditanamkan dengan baik, tidak menutup kemungkinan akan menghasilan generasi masa bangsa yang gelap mata, tidak mengenal halal haram yang ada hanyalah kepentingan individu semata. Tdak heran jika kemudian tindakan ini sangat dibenci oleh agama manapun.

Puasa Korupsi
Saat ini umat Islam di segala penjuru dunia tengah melaksanakan puasa selama satu bulan penuh. Selama satu bulan itu pula setiap umat dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Jika larangan-larangan itu dilakukan –walau qoliilan- maka puasa seseorang dinyatakann tidak sah.
Diantara khikmah dari bulan puasa adalah tidak melakukan korupsi, baik berupa korupsi waktu, makan, minum, maksiat dan lain sebagainya yang melenceng dari norma dan nilai agama.
Shaum dalam perspektif etimologi yaitu ”al Imsak” (menahan diri), adapun pengertian menurut syari' adalah menahan diri dengan niat dari seluruh yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan segala perbuatan yang dapat mebatalkannya. Namun, secara implisit dalam puasa terdapat dua nilai yang menjadi parameter antara sah atau rusaknya puasa seseorang.
Pertama, Nilai Formal yaitu yang berlaku dalam perspektif ini puasa hanya tinjau dari segi menahan lapar, haus dan birahi. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori "banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja".
Kedua, Nilai Fungsional yaitu yang menjadi parameter sah atau rusaknya puasa seseorang ditinjau dari segi fungsinya. Adapun fungsinya sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an: 2; 183 yaitu untuk menjadikan manusia bertakwa (laa'lakum tattaqun).
Meminjam istilah Rasyid Ridha bahwa essensi dari pausa adalah Tarbiyat aliradat (pendidikan keinginan), Thariqat al Malaikat, Tarbiyat al Ilahiyyat (pendidikan ketuhanan), dan Tazkiyat an Nafsi (penyucian jiwa). Maka, dengan berpuasa, akan terbentuk sebuah kesadaran bahwa dalam setiap langkah kehidupan ini selalu diawasi oleh yang maha mengetahui.
Bertalian dengan korupsi, ada beberap faktor yang mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan merugian tersebut, diantaranya adalah karena adanya kebutuhan, peluang, sasaran, dan kesempatan. Sementara mereka tidak sadar bahwa di luar nalar sadar kita ada dzat yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik kita.
Jika dianalisa secara mendalam, puasa mempunyai beberapa nilai dan pesan moral mendasar dalam sendi-sendi kehidupan. Dengan tidak maan dan minum pada prinsipnya melatih untuk berperilaku sederhana dan tidak serakah. Perspektif korupsi, kebutuhan yang terlalu berlebihan (serakah) dan pola hidup glamour nampaknya cukup menjadi representasi terjadinya korupsi.
Khikmah yang lain adalah melatih kejujuran. Disiang bolong, kita bisa saja makan dan minum tanpa ada seorang pun yang tahu, dan enjoy ketika kita ikut berbuka puasa. Jika kita semua terbiasa berpuasa dengan mengharap ridlo Illahi, tidak mungkin kita akan melakukan korupsi bentuk apapun untuk memperoleh ridlo tersebut. Tidak jauh berbeda dengan kehidupan ini, jika kita membiasakan diri untuk berperilaku jujur terhadap diri sendiri, Tuhan maupun orang lain, maka mustahil untuk melakukan tindakan korupsi.
Dengan berpuasa, tentunya nafsu kita akan terkendali. Baik nafsu yang berkaitan dengan kebutuhan jasmani, maupun kebutuhan rohani, terutama syahwat korupsi.
Secercah harapan, dengan berakhirnya puasa nanti, akan membawa nilai posistif bagi pembentukan moralitas dan niali ahlakul karimah bangsa ini, baik pimpinan nasional, pejabat, legislatif, pegawai biasa maupun rakyat biasa, tidak lagi berperilaku koruptif. Evaluasi diri, memahami semua perilaku selama ini merugikan orang lain tentunya menjadi bahan renungan untuk melakukan reformasi diri menjadi insan yang lebih baik.
Semoga bermanfaat.

Muhamad Imron
Penulis adalah Esais dan Peneliti di Lakpesdam NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please comment